Minggu, 29 Mei 2011

Kado Termanis dari Lika-Liku Hitam-Putih "Kota Gula"

Kita sebut namanya Tono. Remaja 20 tahun ini sedang asik menatap ke layar komputer di sebuah warnet samping kampus dengan kepiawaiannya dalam mengendalikan sesosok lelaki berpakaian tentara dalam layar komputer. “Tembak! Gue di kiri lo! Masuk!”, seru Reno, si Raja Bolos. “Sabar, gue dikit lagi nih. Lo duluan, tar gue tembak musuhnya!”, seru Tono. Di tengah-tengah keasyikannya memainkan Point Blank, tiba-tiba “krrriiingg... kriiiinngg...”, handphone Tono berdering. “Halo”, Tono menjawab. “Tono, lagi ngapain nak?”, suara ibu-ibu separuh baya terdengar dari speaker handphonenya. Tono tersentak dan berlari keluar warnet. Dengan medok Jawanya, Tono menyambung pembicaraan yang sempat terputus sejenak:
Tono: “Ehm, Ibu!”
Ibu: “Iyo, nak. Ini Ibu. Kamu lagi ngapain? Kok tadi rame?”
Tono: “Iyo, Bu. Ini aku lagi di kampus. Mana ada toh Bu kampus yang sepi. Ibu nih suka ngada-ngada aja.”
Ibu:”Oh gitu. Kamu hati-hati yo, Nak. Belajar yang rajin biar Bapak sama Ibumu bangga. Kamu pulang harus bawa gelar. Bawa duit yang banyak. Harus jadi bos besar”, dengan nada yakin.
Tono: “Oh, iyo Bu. Tenang aja. Aku orak popo di sini. Aku pasti bikin bangga kalian. Pokoknya nanti Ibu liat Tono jadi orang sukses yo! Nanti aku kasih duit yang banyak buat Bapak sama Ibu. Terus kita keliling dunia!”, serunya nyaring.
Ibu: “Bagus, Nak. Ibu bangga sama kamu, Ton. Kamu kuliah yang bener ya, Nak. Jangan dengerin kata-kata temen kamu yang nggak baik. Nggak usah diladenin kalo mereka ngajak-ngajak kamu buat macem-macem.”
Tono: “Siap, Bu. Tono bisa jaga diri kok.”
Tiba-tiba dari dalam warnet, Reno berteriak, “Tono! Mana deh! Lama lo!”
Ibu: “Suara sopo, Nak? Kok teriak seperti itu?”
Tono: “Itu temenku, Bu. Ini aku lagi mau ngumpulin tugas karo dosen. Udahan yo, Bu. Aku mau kuliah dulu. Nanti kita teleponan lagi yo, Bu. Tugas kuliahku lagi banyak ini.”
Ibu: “Yoweslah Nak kalo gitu. Ibu seneng.  Jaga kesehatanmu yo.”
Tono: “Iyo, Bu. Ibu sama Bapak juga jaga kesehatan yo. Da Ibu”, sembari mematikan handphone.
                Tono bergegas masuk ke warnet dan kembali duduk tenang ke bangkunya seperti tidak mengindahkan nasehat-nasehat Ibunya tadi. Inilah kegiatan Tono sehari-hari di kampus. Tepatnya, di samping kampus. Setiap jam, yang dapat dilakukannya adalah menghabiskan uang bulanannya di warnet. Reno adalah sahabat karibnya. Tepatnya, Reno adalah tersangka utama yang menjerumuskan Tono ke dalam kontras gelap lika-liku kehidupan Jakarta. Reno biasanya memakan korban. Dan korbannya itu adalah anak-anak urban yang merantau sendirian ke kota orang, yang jauh dari orang tuanya. Sementara Tono bagaikan selembar kertas, sangat ringan, dan mengikuti arah angin yang membawanya kemanapun arahnya. Kepribadian Tono yang polos mengakibatkan dia menjadi sasaran empuk untuk masuk ke dalam perangkap Reno.
                Tono dan Reno berteman sekitar dua tahun lamanya, ketika Tono pertama kali datang ke kampus, dan duduk di sebelahnya. Semua berawal dari “jabatan tangan”. Kalau saya pribadi menganalogikan istilah jabatan tangan ini sebagai ajang transfer energi dari masing-masing pribadi yang berjabat tangan. Energi dari dalam diri yang dapat memancarkan aura seseorang. Siapa yang memiliki energi terkuat, maka itulah yang akan membawa temannya yang lain. Namun, jika energi mereka sama-sama kuat, maka orang-orang seperti ini saya sebut sebagai orang-orang yang mempunyai prinsip. Memang cukup aneh. Namun itulah yang menjadi pemikiran saya. Dari jabatan tangan, dapat timbul hubungan pertemanan. Dari pertemanan, muncullah persahabatan. Dan dari persahabatn itulah, muncul keakraban. Dari sinilah semuanya bermula. Yang menjadi pertanyaan, apakah semua sahabat dapat membawa kita ke arah yang lebih baik? Tentu kita semua sudah mengetahui jawabannya. Keakraban yang tercipta seakan-akan menjadi alat penghipnotis yang ampuh untuk menuruti semua kata-kata yang paling sesat sekalipun, yang ditopengi dengan istilah “persahabatan”. Mereka sangat akrab dan melakukan segala sesuatunya bersama. Termasuk melakukan hal-hal yang bodoh.
Kebanyakan orang berkata bahwa kota Jakarta adalah kota yang sarat dengan “gula”. Di mana ada gula, di situ pasti ada semut. Begitulah paradigma para urban yang rela mati-matian hidup sebatang kara, mengadu nasib, dan masih polos yang bertebaran di pelosok “Kota Gula” ini. Mereka seakan-akan dibutakan. Padahal, ada anggapan bahwa di samping begitu banyaknya kesempatan emas yang bisa mereka dapatkan, begitu berat pula harga yang harus mereka bayar untuk mendapatkan kesempatan emas itu. Bagai analogi yang menjelaskan tentang sesuatu yang berharga. Di mana jika dengan mudah kita memperoleh sesuatu, dengan mudah pula kita melepas dan membuangnya. Begitupun sebaliknya. Untuk mendapatkan “sesuatu” harus ada harga yang dibayar. Dan harga yang dibayar, menentukan kualitas dari “sesuatu” itu. Ada dua sesuatu yang bisa kita temukan dari pernyataan ini. Yang pertama, “sesuatu” yang harus kita bayar. Dan yang kedua, “sesuatu” yang kita dapatkan. Kata “sesuatu” terkait akan tingkah laku dan pemilihan tindakan yang kita ambil.
                Kehidupan urban sering diidentikkan dengan kepolosan, keluguan, dan ketidakberdayaan. Karena kepolosannya itu, maka para urban kerap kali menjadi sasaran pemangsa liar yang berkeliaran bebas di kota Jakarta. Karena keluguannya, mereka tak jarang mudah terpengaruh dengan hal-hal yang “kedengarannya” positif. Dan karena ketidakberdayaannya, mereka sering mendapat cemooh dari orang lain, jika tidak ikut berbaur mengadaptasikan diri dengan lingkungan dan gaya hidup yang terkadang menyimpang dari nilai yang sebenarnya. Tak jarang, para urban pun dilengkapi dengan semangat yang berkobar-kobar karena “merantau di negeri orang”. Di balik analogi “kesendiriannya” itu, mereka akan berusaha untuk senantiasa menjadi yang terbaik demi membahagiakan keluarga, bergaul karib dengan orang-orang yang berasal dari kota yang sama, dan banyak dari mereka sangat senang dengan persaingan yang sehat. Budaya dari kota mereka berasal, mulai diterapkan. Ada batasan-batasan yang harus dijaga dan juga dikendalikan. Semuanya berawal dari tradisi dan petuah-petuah orang tua dan sanak famili mereka yang dipegang kuat sebelum mereka dilepas sendiri di kota orang. Dan biasanya, wejangan ataupun petuah yang diberikan itu akan terngiang-ngiang terus di kepala para urban jika mereka ingin merencanakan sesuatu hal yang bertentangan dengan nilai-nilai sebenarnya.
                Ketahanan mereka akan tradisi dan nilai-nilai yang ada dalam komunitas mereka akan diuji kekuatannya ketika mereka berbaur dengan berbagai kalangan budaya, yang diperlengkapi dengan beragam nilai, yang tentunya sarat akan kontroversi dari berbagai kalangan kebudayaan. Siapa yang mampu mempertahankan nilai-nilainya, maka dialah yang akan menjadi “seseorang”. Kadang banyak yang jatuh. Namun, tidak sedikit juga yang mampu bertahan. Keadaan yang memaksa mereka untuk mempertahankan ataupun melepas sementara, bahkan selamanya. Nilai-nilai yang mereka anut bukan berfungsi sebagai pengendali. Namun, merekalah yang harus mengendalikan itu sendiri. Layaknya anggota tubuh kita. Otak sebagai pengendali, bukan kaki, tangan, ataupun badan. Dalam mengatur kehidupan kita, kita berfungsi sebagai otaknya. Nilai, teman, kawan, budaya, cobaan, bahkan lawan, menjadi bagian dari bagian tubuh kita. Kita yang mengendalikannya. Bukan kita yang dikendalikan. Lawan pun dapat menjadi pengendali diri. Ketika kita ingin bersaing dengan lawan, kita akan mengesampingkan segala sesuatunya demi memperoleh kemenangan. Dan hal itu dapat membuka celah terjadinya penyimpangan sosial. Ketika kita sudah terseret dan jatuh ke dalamnya, kemungkinan untuk bangun sangatlah kecil, kecuali ada tekad yang kuat yang muncul dari dalam diri kita sendiri. Yaitu, nilai yang telah ditanamkan dan berakar kuat yang terabaikan.
                Sebaliknya, jika kita mampu bertahan, maka kitalah yang menjadi pemenangnya. Kita adalah seorang urban yang sukses merantaukan diri. Keteguhan hati dan kekuatan untuk memegang prinsip adalah salah satu bagian dari diri kita yang begitu berharga. Tidak mudah terbawa zaman, dan tidak mudah terpengaruh. Banyak hal-hal positif yang dapat kita ambil dari hal ini. Diantaranya, keinginan untuk membuat usaha sendiri untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi diri kita. Keinginan ini biasanya muncul dari perasaan yang tidak ingin menyusahkan orang tua, yang jauh di sana. Tekadnya begitu besar untuk tetap bertahan meskipun lelah. Mereka akan membuktikan bahwa “Mereka Bisa”. Dan merupakan suatu kebanggan tersendiri apabila di saat mereka pulang, membawa suatu dampak dan suatu hal yang patut dibanggakan dari diri mereka. Itu merupakan simbol dari kesuksesan para urban.
Jakarta memang identik dengan ke-”bhinekaan” dan variasi, tetapi sarat dengan kontroversi. Kekritisan yang ada membuat segala sesuatunya tidak dengan mudah berjalan dengan lancar. Ibarat hukum rimba: “Siapa yang kuat, dialah yang akan bertahan hidup. Yang lemah, akan dimakan oleh yang kuat, dan akan hilang dari kehidupan”. Banyak tipu muslihat. Banyak caci-maki. Tindak kejahatan, bahkan yang tak lazim. Dan banyak urban yang menjadi korban. Banyak yang berkata bahwa kehidupan Jakarta itu “keras”. Konotasi “keras” banyak yang salah mengartikan, terutama para urban yang berdatangan. Mereka sebagian besar berpikir bahwa “keras” berarti penduduk Jakarta banyak yang jahat. Tetapi menurut saya, “keras” itu memiliki pengertian bahwa untuk mendapatkan sesuatu harus bekerja keras, karena begitu banyaknya saingan. Karena Jakarta adalah dunia untuk bersaing, bukan untuk berleha-leha.
                Tindak kejahatan ataupun setiap bentuk penyimpangan yang muncul adalah impartasi dari ketidakmampuan seseorang untuk membekali dirinya dan bersaing secara sehat. Dan itulah konsepsi yang menyebabkan Tono mengadu nasibnya di “Kota Gula” ini. Sayangnya, dia tebawa arus.
Reno: “Ton, udahan yuk mainnya.”
Tono: “Terus kita mau ke mana lagi? Kita balik ke kampus nih?”
Reno: “Mana ada dosen yang mau terima kita lagi? Gue udah hampir sebulan nggak masuk. Gue udah nggak peduli lagi. Udah pasrah gue sama perkuliahan. Biarin aja lah.”
Tono: “Apalagi gue. Pasti jumlah masuk kita lebih baik dihitung pake jari daripada jumlah bolos kita.”
Reno: “Ikut gue.”
Tono: “Ke mana?”, dengan wajah yang penuh dengan kebingungan.
Reno: “Udah, ikut aja! Ntar juga lo bakalan tau sendiri.”, sambil bergegas pergi.
                Mereka berdua pergi ke suatu tempat yang sunyi. Di mana tidak ada seorang pun yang ada di tempat itu kecuali mereka berdua. Tempat itu tidak jauh dari lokasi warnet, tempat mereka menghambur-hamburkan uang, dan tepat di belakang suatu gedung, tempat mereka nge-kost. Reno mengambil handphone dan berbicara misterius kepada seseorang. Dia berbisik seakan-akan tidak boleh seorang pun yang tau tentang apa yang sedang dia perbincangkan. Sebagai seorang mahasiswa, seharusnya Tono dapat mengendalikan hidupnya, mampu memilah mana yang baik dan mana yang jahat. Namun, dia kembali dibutakan dengan istilah “persahabatan”. Ketakutannya untuk tidak mendapatkan seorang teman di Jakarta menjadikan Reno sebagai teman satu-satunya yang seakan-akan paling “baik” buat dirinya.
                Beberapa menit setelah Reno menelepon temannya, datanglah seorang lelaki yang nampaknya mahasiswa datang menghampiri mereka berdua. Tono hanya terdiam dan menunggu apa yang akan dilakukan Reno, sahabatnya. Raut wajahnya penuh dengan tanda tanya, namun tidak berani bertanya. Tiba-tiba, lelaki tadi mengeluarkan sekantong serbuk dengan mengendap-endap. Terlihat juga olehnya Reno memberikan uang kepada lelaki tersebut. Tono nampaknya mulai mengerti. Ia berpikir sejenak dan hendak meninggalkan Reno.
Reno: “Mau ke mana lo?”
Tono: “Gue mau pergi, Ren. Gue nggak mau terjerumus. Dan gue nggak mau mati muda!”
Reno: (tertawa) “Lo ngomong apa? Gue nggak ngerti.”
Tono: “Itu narkoba, kan? Yang barusan lo beli itu narkoba, kan?”
Reno: “Ini tuh obat, yang bisa bikin kita terbang alias nge-fly. Kia bakal lupain semuanya. Masalah kita, masalah hidup lo, masalah kampus, masalah yang berbelit! Semuanya bisa kita lupain kalo pake ini. Ngerti?!”
Tono: “Sama aja, Ren! Itu narkoba! Kita bisa ketangkep polisi! Gue nggak mau ngecewain bokap-nyokap gue!”
Reno: “Jadi lo pikir selama ini gue jerumusin lo? Gitu?!”
Tono: “Bukan gitu, Ren. Gue emang bandel, tapi gue bukan pemakai. Dan gue nggak akan pernah mau pake barang haram itu!”
Reno: “Oke! Lo tunggu aja akibatnya!”
Tono: “Sorry, Ren. Kali ini gue ngga ikutan.”
Reno: “Kalo sampe ini bocor ke temen-temen yang lain, lo liat akibatnya! Persahabatan kita, cukup sampai sini!”
Tono: “Ren ...”
Reno: “Udah, sana lo! Kampung! Pergi aja yang jauh!”
Tono: “Lo jangan pake barang haram itu, Ren. Bahaya.”
Reno: “Apa urusan lo?! Ngerti apa lo?! Urusin aja tuh bokap lo!”, sambil berjalan pergi.
                Tono tidak mengerti apa yang harus dia lakukan. Dia sangat bingung karena Reno adalah teman satu-satunya. Lalu, yang bisa dia lakukan hanyalah menyelamatkan Reno dari perangkap narkoba. Tono dan Reno tinggal satu kost-an. Mereka sekamar. Setibanya di kost-an, Reno didapati sedang memakai obat terlarang itu. Reno baru kali itu memakainya. Dengan cepat, Tono segera menghentikan Reno secara paksa. Satu ancaman Tono ke Reno: “Kalo lo masih pake barang haram ini, rahasia lo ini bakal terbongkar ke temen-temen kampus!”. Karena mendengar hal itu, Reno pun mulai menganggap bahwa Tono adalah seorang musuh dan membahayakan rahasianya. Reno adalah seorang yang picik dan selalu berusaha menjerumuskan semua orang yang tidak mengerti apa-apa ke dalam perangkapnya untuk menjadi manusia yang tidak berakhlak bersama-sama dengan dia. Sejak saat itu, Tono dan Reno tidak lagi berkomunikasi. Tono hanya memantau sahabatnya agar tidak lebih dalam lagi tercandu oleh benda haram itu.
                Suatu hari, Tono memberanikan diri ke kampus. Reno, sahabatnya yang mengetahui hal itu segera menjalarkan pikirannya ke kata-kata yang diucapkan Tono sewaktu ia mendapatinya sedang memakai narkoba. Reno berpikiran bahwa rahasianya akan terbongkar. Dia beranggapan bahwa Tono akan menceritakan semua itu kepada teman-teman kampusnya, lalu hal itu akan tersebar ke mana-mana dan ia menjadi seorang yang diasingkan di lingkungan kampusnya, bahkan di lingkungan kost-annya. Berkutat dengan pikiran negatifnya, ia pun merencanakan sesuatu yang buruk kepada Tono. Sementara Tono yang hanya berniat untuk datang ke kampus tidak mengetahui rencana jahat apa yang direncanakan mantan sahabatnya itu.
                Di kampus, Tono merasa senang. Sudah sekian lama ia tidak mendengarkan celoteh dan penjelasan dari dosen favoritnya. Semua prasangka buruknya tentang dosen yang selalu terkesan “cuek” seakan terhapus dalam sekejap. Banyak dosen yang menanyakan keberadaannya. Ternyata, banyak yang peduli dengan Tono. Ia tidak menyangka akan seperti ini. Dia beranggapan bahwa semua orang tidak ada yang peduli dengannya. Di samping itu, banyak pula yang menanyakan kabar Reno. Tono hanya bisa menjawab: “Reno sedang sakit. Jadinya dia nggak bareng saya hari ini.”. Dia tidak mungkin menjelaskan keadaan Reno yang sebenarnya, karena dia tidak ingin orang lain tahu kalau Reno sudah terseret jauh, bahkan sampai memakai barang haram, seperti narkoba. Tono senang masih ada yang memperhatikan mereka berdua. Dalam pikiran Tono, terbersit sesuatu hal yang ingin dia sampaikan pada Reno.
“Ren, ternyata apa yang lo pikirin selama ini tuh salah. Masih banyak orang-orang yang peduli sama kita. Masih ada yang mau perhatiin kita. Bahkan dosen pun, ada yang nanyain keadaan dan nyariin kita. Sesuatu yang buruk akan berakhir kalau kita mau berubah.”
                Itulah yang ingin disampaikan Tono kepada Reno. Kesenangan dalam hatinya sudah tak terbendung lagi. Rasanya, dia ingin terbang ke tempat Reno berada dan menyampaikan hal ini dengan segera. Dia ingin Reno, sahabatnya berubah. Ya, berubah bersama-sama dengan dia. Tono tidak ingin melihat sahabatnya jatuh. Dia tidak ingin melihat Reno semakin terjerumus dengan hal-hal negatif itu. Persahabatan mereka bagaikan “kepompong”. (yang menjadi pertanyaan, mengapa harus kepompong?)
                Dalam lamunannya, Tono dikagetkan oleh sesosok wanita cantik, berambut panjang, dan berpakaian hijau yang datang menghampiri dia. Rasti namanya.
Rasti: “Ton, Tono. Hey.”, sambil melambai-lambaikan tangannya ke depan muka Tono yang lagi bengong.
Tono: “........”
                Sebenarnya, Rasti adalah wanita yang diincar Tono selama ini. Sewaktu masih aktif dalam perkuliahan, Tono ingin menyatakan perasaannya di malam valentine. Rasti sudah di depan mata, tetapi Tono berlari pergi meninggalkannya karena mendapat kabar bahwa Reno dikeroyok orang di persimpangan jalan. Tono tercengang tak percaya mengetahui bahwa Rasti menyapanya. Lalu, sekali lagi Rasti menyapa sambil menepuk bahu Tono:
Rasti: “Ton.”
Tono: “I..iya Ras. Kenapa?”
Rasti: “Kamu ngelamun ya?”
Tono: “E..enggak kok, Ras. Kenapa?”
Rasti: “Kok mukanya panik gitu? Aku ganggu ya?”
Tono: “Oh, nggak panik kok, Ras. Kamu nggak ganggu kok. Kamu kok tumben nyamperin aku?”
Rasti: “Kamu nggak sadar ya? Tadi itu kamu ngelamun sampai kelas ini selesai. Bahkan sampai kelas ini kosong. Ngelamunin apa sih?”
Tono: “Hah?! Separah itu? Oh, enggak kok, Ras. Bukan apa-apa.”
Rasti: (tertawa) “Kamu kok nggak nyadar sih? Kalo ngelamun terus sampe malem bahaya loh sendirian di sini.”
Tono: “Iya sih, Ras. Bahaya kalo sampe aku ngelamun terus. Untungnya kamu dateng.”
Rasti: “Iya nih. Tadi jaket aku ketinggalan.”
Tono: “Oh, yauda. Kamu mau balik sekarang?”
Rasti: “Iya, Ton. Aku mau balik sekarang. Kamu juga?”
Tono: “Iya, aku juga mau balik sekarang. Sekarang kan udah maghrib.”
Rasti: “Oke. Aku duluan yah.”
Tono: “Hmm..”
Rasti: “Sampai ketemu besok!”, sambil berjalan pergi.
                Tiba-tiba Tono menarik tangan Rasti.
Rasti: “......”
Tono: “Hmm. Maaf.”
Rasti: “......”
                Tono masih menggenggam tangan rasti erat.
Rasti: “Ton.”
Tono: “Aku...”
Rasti: “......”
Tono: “Aku minta maaf buat malam valentine itu”
Rasti: “Iya, Ton. Nggak apa-apa.”
Tono: “Waktu itu aku harus nolongin Reno.”
Rasti: “Aku tau, Ton. Dia emang lebih berharga.”
Tono: “.......”
Rasti: “.......”
Tono: “Kamu.....”
Rasti: “Aku mau pulang, Ton. Bisa lepasin tangan aku?”
Tono: “Aku nggak bisa.”
Rasti: “Nggak bisa apa, Ton?
Tono: “Nggak bisa lepasin tangan kamu.”
Rasti: “......”
Tono: “Aku harus bilang kalo...”
Rasti: “Kalo apa, Ton?”
Tono: “Kalo tangan kamu kok mulus? Pakai sabun apa?”, sambil tertawa.
Rasti: “........”
Tono: “Kok kamu nggak ketawa, Ras?”
Rasti: “Udah, Ton. Aku mau pulang. Ini udah maghrib. Bisa-bisa pintu bawah udah ditutup. Ayo, buruan! Kalo dikunci kita gimana?”
Tono: “Tapi aku gandeng ya?”
Rasti: “Cepet, Ton. Aku nggak mau kita terkunci di  gedung ini.”, sambil melepas paksa tangan Tono.
                Mereka berdua pun segera berjalan menuju ke bawah. Dan benar firasat Rasti. Pintu sudah terkunci. Dan mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Tidak ada lagi orang yang ada di gedung itu selain mereka berdua. Mereka sangat panik. Rasti lalu menyalahkan Tono tentang hal ini. Dia sangat menyesal mengapa harus berlama-lama di ruang kelas. Tono pun dengan sabar menghadapi ocehan Rasti, yang identiknya “perempuan”. Biasanya, perempuan akan mengeluarkan segala jurus ocehannya jika dalam keadaan kesal. Dan Tono sudah mengerti akan hal itu. Jadi, Tono sudah biasa mendengar celotehan perempuan yang akan terlontar dari mulutnya ketika mendapati hal yang tidak sesuai dengan harapan. Di sinilah cerita itu berlanjut.
Rasti: “Kita harus ngapain? Tolong bukain! Tolong!”, teriaknya.
Tono: “Kita duduk aja yuk.”
Rasti: “Dalam situasi kayak gini kamu masih mau duduk? Kamu t.........”
                Dengan santainya Tono menutup mulut Rasti agar tidak banyak bicara.
Tono: “Ssssssttt. Kalo tenang kita pasti dapet jalan keluarnya. Kamu tenang yah. Jangan berisik. Aku akan coba cari jalan keluarnya.”
Rasti: “@#$%^^&$$@”
Tono: “Aku lepasin, tapi kamu diem ya?”
Rasti: “Heeeehhhhh.”, sambil mengambil nafas.
Tono: “Kalo diem kan lebih cantik. Diem yah. Kita cari jalan keluarnya.”
Rasti: “Iya jelek.”
                Akhirnya, Tono dan Rasti pun mencari jalan keluarnya. Mereka mengelilingi gedung itu tapi tak kunjung bertemu dengan jalan keluarnya. Mereka berusaha mencari bantuan mahasiswa yang lewat. Namun, tidak ada yang mendengar. Satpam yang biasanya berlalu-lalang memeriksa keamanan gedung pun menghilang bak disembunyikan malam. Setelah lama mencari jalan keluar, mereka berdua mulai lelah. Mereka mencari tempat untuk beristirahat. Lalu mereka duduk di balkon atas gedung.
Tono: “Maaf untuk yang kedua kalinya.”
Rasti: “Kamu emang selalu bikin aku kayak gini. Gantung.”
Tono: “Gantung? Maksudnya?”
Rasti: “......”
Tono: “Ras....”
Rasti: “Oh iya. Kamu kenapa jarang masuk kampus? Emang kamu ke mana bareng Reno? Kok lama banget sih sampe sebulanan?”
Tono: “Aku terbawa arus, Ras. Aku rusak. Aku kerjanya main warnet mulu.”
Rasti: “Kenapa kamu harus kayak gitu? Kenapa harus ikutin Reno? Kamu tau kan Reno orangnya gitu? Kenapa masih temenan sama dia?”
Tono: “Karena aku pikir temanku satu-satunya Cuma Reno. Cuma dia yang care sama aku.”
Rasti: “Lalu aku? Teman-teman yang lain? Kita semua sayang sama kamu, Ton. Bahkan dosen-dosen juga sayang sama kamu, termasuk Reno.”
Tono: “Iya, Ras. Mataku udah terbuka. Aku tahu kalian semua sayang sama aku, sama Reno. Aku care sama Reno. Aku nggak mau dia jatuh terseret lebih lama lagi. Aku nggak mau dia makin rusak karena salah pergaulan.”
Rasti: “Memangnya ada apa dengan Reno?”
Tono: “.......”
Rasti: “Ton, kalo nggak mau cerita nggak apa-apa kok.”
Tono: “Aku nggak bisa cerita, Ras. Cukup aku sama dia aja yang tau. Maaf.”
Rasti: “Iya, Ton. Nggak masalah. Kamu harus berubah ya. Mana si Juara Olimpiade Informatika yang aku kenal? Mana si Jago Matematika andelan kelas kita? Kita semua kehilangan kamu, Ton.”
Tono: “Kamu kok bawel?”
Rasti: “Perempuan mana yang nggak bawel?”, sambil tertawa.
Tono: “Hmm.. Aku sayang kamu.”
Rasti: “Hah?”
Tono: “Kamu sayang aku nggak?”
Rasti: “.......”
Tono: “Ras..”
Rasti: “Kamu kenapa baru bilang sekarang?”
Tono: “Karena.....”
Rasti: “Kamu tau aku nungguin kamu bilang ini udah lama banget. Kamu selalu menghilang. Selalu pergi. Aku selalu berharap, tapi kenapa baru sekarang?”
Tono: “Aku minta maaf.”
Rasti: “Kenapa minta maaf? Seharusnya aku yang nggak boleh marah.”
Tono: “Ras, be my lady. Please.”, sambil berbisik dan memegang tangan Rasti.
Rasti: “.......”
Tono: “Would you mind?”
Rasti: “Akuuu...”
Tono: “Aku mau kamu.”
Rasti: “Aku juga.”
Tono: “Serius, Ras? Bantu aku yah jalanin hidup aku. Aku mau kembali kayak dulu lagi. Si Pemenang Olipiade Informatika. Si Jago Matematika. Aku mau kayak dulu. Help me.”
Rasti: “Serius, Ton. Aku pasti bantu kamu. Pasti!”
                Tiba-tiba dari kejauhan, Tono melihat seorang satpam yang sedang patroli.
Tono: “Ras. Satpam!”
Rasti: “Pak! Pak! Tolongin, Pak! Bukain pintunya!”
Tono: “Iya, Pak! Kami terkunci udah daritadi sore!”, seru Tono.
                Tono dan Rasti akhirnya turun ke bawah dan satpam pun membukakan pintu.
Satpam: “Hati-hati ya, dek! Lain kali jangan sampai terkunci lagi. Kalau tadi Bapak tidak melihat bagaimana? Kalian bisa sampai pagi di tempat ini.”
Tono: “Iya, Pak. Maaf ya ngerepotin Bapak. Makasih ya udah dibukain. Kami pamit pulang dulu!”
Satpam: “Iya, dek. Hati-hati.”
Tono dan Rasti: “Iya, Pak.”
                Akhirnya, mereka berdua dapat keluar dari gedung itu dengan bahagia. Dan tersentak, Tono melihat jamnya. Jam 9! Tono ingin segera pulang ke tempat kost untuk memberitahukan kepada Reno tentang kabar bahwa ternyata masih banyak yang peduli dengan mereka berdua. Tono sangat antusias membuat Reno kembali ke kampus dan bersama-sama memulai kehidupan baru mereka. Lalu dia berpamitan dengan Rasti, kekasihnya.
Tono: “Ras, aku pulang dulu yah! Aku mau ngasih tau Reno kalau masih banyak yang peduli dengan dia! Dia pasti seneng banget aku kasih tau ini. Makasih udah temenin aku. Makasih juga buat kesempatan yang kamu kasih buat sayangin kamu. Makasih buat semuanya, Ras. Kamu hati-hati yah pulangnya. Langsung pulang jangan kemana-mana lagi. Yah?”, sambil memegang kepala Rasti.
Rasti: “Iya, Ton. Kamu juga hati-hati yah pulangnya. Sama-sama, Ton. Akhirnya hari ini kita resmi jadian. Aku seneng banget. aku pasti langsung ke rumah kok. Kamu tenang aja. Selamat nyampein kabar gembira, Ton!”, sambil tersenyum manis kepada Tono.
Tono: “Aduh, cantiknya kalo lagi senyum. Makasih cantik buat senyumnya. Sampai ketemu besok ya. Bye, Rasti.”, sambil melambaikan tangannya.
Rasti: “Bye, Tono.”, membalas dengan melambaikan tangan.
 Tanpa disadari, gelang Tono jatuh. Dan Rasti memungutnya. Rasti sudah berusaha memanggil Tono tetapi Tono tidak mendengarnya. Tono tampak terburu-buru sekali. Dia sangat berantusias menyampaikan kabar ini kepada Reno, dan sangat berharap hal itu dapat membuat Reno kembali ke kampus dan meninggalkan segala keburukan yang pernah mereka lakukan.
                Di lain sisi, Reno sudah mempersiapkan rencana buruk terhadap Tono. Ia sangat kesal mengapa Tono pergi ke kampus setelah Tono mengetahui bahwa dirinya memakai narkoba. Reno curiga jangan-jangan Tono telah membongkar rahasianya kepada teman-teman kelasnya, atau bahkan ke pihak kampus. Dan ia beranggapan bahwa sebentar lagi polisi akan menangkapnya karena Tono pulang terlambat dan sedang mengurus hal ini ke kepolisian. Sungguh pikiran yang sangat negatif.
                Akhirnya, dengan kesenangan hatinya, Tono melangkah pulang ke kost-an. Dia sangat berharap, dengan disampaikannya berita ini, besok dia dan Reno akan pergi ke kampus bersama-sama. Dalam perjalanannya, tiba-tiba dia dihadang oleh segerombolan anak muda yang membawa pisau, parang, cerurit, dan juga rantai. Melihat hal ini, Tono bingung. Dia tidak mengerti dan tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Dia bingung melihat segerombolan orang yang ingin mengeroyoknya itu. Tiba-tiba, dalam keremangan cahaya lampu gang, terlihat sesosok orang yang sepertinya familiar. Dia kenal dengan orang itu. Dan dilihatnya semakin mendekat, dia sadar bahwa itu adalah Reno, sahabatnya. Dia lalu tercengang dan hatinya penuh dengan tanda tanya.
Reno: “Bagus, jagoan udah pulang!”
Tono: “Maksudmu apa, Ren?”
Reno: “Bilang aja kalo lo udah bongkar semua rahasia gue ke orang-orang!”
Tono: “Rahasia apa?!”
Reno: “Udah, gak usah banyak ngomong! Sikat!”
                Akhirnya, Tono dihabisi oleh teman-teman Reno. Tono yang tidak tahu apa-apa dikeroyok. Dia dikeroyok dengan tidak masuk akal. Dikeroyok dengan tidak berfakta. Tono tidak bisa apa-apa. Dia sudah tidak berdaya lagi. Berkali-kali dia memohon ampun, tapi Reno terus memukulnya tanpa henti. Seluruh badannya berlumuran darah. Dari atas, sampai ke bawah. Kepalanya dipukuli dengan rantai. Badannya tertusuk pisau di bagian pinggang. Wajahnya berkali-kali terkena hantaman dari Reno. Tono benar-benar sudah tidak berdaya. Dalam ketidakberdayaannya itu.
Reno: “Lo rasain kan akibatnya kalo lo berpaling dari gue?! Jangan lo kira gue nggak tau apa yang lo lakuin di kampus! Gue tau lo nyesel temenan sama gue. Dan karena lo udah tau kalo gue pemakai, makanya lo mulai menjauh dari gue! Kenapa? Kenapa lo nggak menjawab?!”
                Tono hanya bisa terdiam dan tidak bisa berkata apa-apa lagi. Kondisinya sangat lemah. Dia tidak dapat membela diri sama sekali.
Reno: “Oh, atau mungkin lo udah ngaduin gue ke semua dosen?! Mungkin lo bisa merasa menang sekarang. Tapi jangan harap hidup lo bisa tenang! Gue nggak akan biarin lo hidup! Ini pembalasan buat orang yang udah cemarin nama gue kemana-mana.”, sekali lagi Reno memukul muka Tono denga sangat keras.
Dalam ketegangan malam itu, Tono sepertinya sudah tidak tahan dan hanya memasrahkan dirinya untuk dipukuli. Lidah tak kuasa untuk membuat penjelasan. Mata tak berdaya melihat sahabat yang dia sayang memukulinya dengan tidak terhormat. Kaki tak berdaya untuk berlari sesemangat tadi. Tenaganya sudah habis. Tiba-tiba di persimpangan gang berdiri sesosok wanita, dan itu Rasti, yang ingin mengembalikan gelang Tono.
Rasti: “Cukup! Berhenti kalian semua!”, seru Rasti sambil berlari cepat ke arah Tono.
                Semua yang melihat Rasti hanya bisa terdiam, terutama Reno. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi kalau sampai kejadian ini disebarkan ke orang lain. Rasti menangis dan memeluk Tono yang terbujur tak berdaya. Dia tak dapat menahan tangisannya.
Rasti: “Tono, Tono. Ayo bangun! Ini aku Rasti! Ton....”, teriaknya gemetar.
Lalu, dilihatnya gerombolan itu satu-persatu dengan seksama. Dilihatnya Reno, sahabat Tono. Rasti tidak menyangka Reno dapat melakukan hal setega ini kepada sahabatnya sendiri. Dia tak mampu berkata apa-apa. Dihelanya nafas dalam-dalam. Lalu ia mencoba berkata.
Rasti: “Apa yang lo lakuin ke sahabat lo?”
Reno: “Dia udah ngebocorin rahasia gue! Gue make narkoba dan gue yakin dia udah ngebocorin itu ke semua anak-anak kelas, termasuk lo! Ngaku nggak lo?! Mungkin dia juga udah ngebocorin itu ke semua dosen. Dasar ember emang ni anak!”
Rasti: “Lo tau, yang lo pikirin itu semuanya salah. Sekarang udah kayak gini apa yang bisa lo lakuin?! Hah?!”
Reno: “Maksud lo apa?”
Rasti: “Reno nggak cerita hal itu ke siapa-siapa, bahkan ke gue sekalipun! Tadi yang dia bilang hanya dia care sama lo! Dia nggak mau lo terjerumus lebih jauh lagi! Dan gue nggak tau lo itu pemakai! Lo ngebuka aib lo sendiri! Dia nggak mau ceritain kejelekan lo ke gue, apalagi ke orang-orang kampus!”, jelasnya dengan penuh amarah.
Reno: “Lo pasti bohong! Buktinya kenapa dia pulang malem banget?! Dia pasti lagi ngurusin gue ke kantor polisi kan? Biar polisi nangkep gue!”
Rasti: “Lo tau kenapa kita pulang malem? Tadi kita terkunci di dalam gedung. Puas?! Satu hal yang harus lo inget! Lo beruntung punya temen kayak Tono!”
Reno: “.......”
Rasti: “Dia mau lo jadi anak yang baik. Harapan dia adalah, lo dan dia bareng-bareng ke kampus besok. Dia sangat berharap lo bisa ke kampus temenin dia! Udah puas lo sekarang? Udah puas ngancurin hidup temen yang lo anggep jahat ini?! Hah?! Jawab gue! Jawab!”
Reno: “......”
Rasti: “Lo nggak punya mulut? Mana celotehan lo tadi yang nuduh pacar gue macem-macem?! Mana?! Dia ke sini mau ngasih tau lo kalau banyak orang kampus yang nyariin lo! Dia dateng dengan antusias! Dengan harapan lo bakal berubah setelah dengerin kabar yang dia bawa. Terus apa balesan lo?! Apa?!”
Reno: “Gu..Gue....”
Rasti: “Sekarang Tono nggak bisa apa-apa lagi. Kali ini gue minta tolong sama lo dan temen-temen lo ini bawa dia ke rumah sakit sekarang! Cepet!”
                Sesampainya di rumah sakit, Reno dengan penuh penyesalan di wajahnya menangis di ruang tunggu. Tono sedang kritis, dan dokter tidak tahu apakah dia bisa selamat atau tidak. Benturan yang bertubi-tubi di kepalanya membuat Tono tidak berdaya dan kehabisan tenaga untuk bertahan. Luka tusukan di pinggangnya pun membuat dia banyak kehilangan darah. Dengan keharuan, Rasti bersabar dan berdoa meminta kesembuhan untuk Tono. Dia sangat prihatin dengan Tono. Niatnya yang baik malah dibalas dengan perlakuan tidak terpuji seperti ini. Reno akan menjadi orang yang paling menyesal dan bersalah jika sampai terjadi apa-apa dengan Tono. Dia telah memperlakukan sahabatnya sendiri seperti itu. Bahkan, ia tidak mau lagi mengakui Tono sebagai sahabatnya.
                Rasti tidak dapat berhenti menangis mengenang semua masa indah yang telah ia lalui bersama Tono di kampus barusan.
“Ton, kenapa harus seperti ini? Kenapa kamu harus pulang dan berteman dengan orang yang salah? Kenapa kamu harus begitu menyayangi teman seperti Reno? Kenapa Ton? Aku nggak akan mau kamu pergi secepat ini. Aku udah janji, aku janji untuk bantu kamu ngubah hidup kamu. Aku harap kamu denger aku, Ton. Tolong dengerin aku! Kamu tega ninggalin aku sendirian seperti ini? Apa aku harus menikmati keindahan itu hanya untuk malam ini? Apa aku harus seperti itu? Apa kamu hanya kasihan dengan Reno, Ton? Jawab aku! Aku kangen dengan semua lelucon yang kamu buat ke aku tadi sore. Aku kangen denger kamu bilang “aku sayang kamu” tadi malem. Aku kangen, Ton. Kamu nggak bakal ninggalin aku, kan? Apakah pertemuan kita cukup sekali ini aja? Apa kamu nggak kasihan liat aku, Ton? Kamu harus sembuh yah. Please. Demi aku. Tuhan, tolong sembuhin Tono. Tolong Tuhan. Aku sayang dia. Aku sayang dia, sejak malam valentine itu.”, rintih Rasti dalam hatinya.
Rasti tidak mau berpikir bahwa itu akan menjadi kenangannya yang terakhir bersama Tono. Hanya satu yang diinginkan Rasti dalam benaknya, yaitu kesembuhan Tono. Dibalut dengan keharuan hatinya, tiba-tiba pintu ruang operasi pun dibuka. Dokter keluar. Tidak ada tanda-tanda bahwa Tono selamat. Tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan kesenangan di raut wajah sang Dokter. Rasti pun memberanikan diri untuk bertanya.
Rasti: “Ba.. Bagaimana, Dok hasilnya? Pacar saya bisa lewatin masa kritis, kan?”
Dokter: “......”
Reno: “Ayo, Dok! Jawab! Gimana Tono?! Kasih tau kami!”, sambil menarik baju dokter.
Dokter: “Maaf. Teman kalian telah pergi.”, jawabnya sendu.
Reno: “Dok! Jangan bohong! Tono nggak mungkin pergi!”
Dokter: “Tapi, dia tadi berpesan supaya kalian jangan sedih. Dia mau, orang yang bernama Reno berubah. Dan dia minta maaf untuk Rasti, karena memberi harapan kosong. Itu pesan terakhirnya.”, terang Dokter lirih.
Rasti: “Dokter pasti bohong. Aku nggak percaya! Ini nggak mungkin!”, sambil berlari masuk ke dalam ruang operasi.
                Di ruangan operasi, dilihatnya Tono yang terbujur kaku tak berdaya di atas tempat tidur. Tak kuasa menahan tangis, akhirnya Rasti histeris. Reno pun dengan muka yang penuh rasa bersalah masuk ke ruang operasi dan melihat sahabatnya, Tono terbujur kaku. Reno ingin mengambil pisau dan membunuh dirinya, namun Rasti menahannya.
Rasti: “Lo! Apa yang lo lakuin?! Ini semua gara-gara lo! Pacar gue meninggal gara-gara lo dan temen-temen lo! Harapan Tono hanya satu. Dia pengen pergi ke kampus barengan sama lo besok. Akhirnya? Apa bisa Tono pergi bareng lo? Gue bener-bener kecewa! Kenapa pikiran negatif lo nggak diselidikin dulu kebenarannya? Dan kenapa harus Tono yang lo giniin? Lo punya hati nggak?! Lo punya perasaan?! Udah berapa lama lo kenal sama Tono? Baru kemaren? Kenapa lo nggak ngerti Tono orangnya kayak gimana?! Atau lo hanya jadiin dia alat untuk nemenin kesendirian hidup lo?! Lo Cuma jadiin Tono alat untuk temenin kenakalan dan ketidakjelasan hidup lo?! Satu hal yang harus lo tau, Tono pengen lo berubah! Tono mau lo dan dia jadi orang yang sukses. Tono mau lo nggak terjerumus lebih dalem lagi! Ngerti?!”, sambil menangis.
Reno: “Gue tau, Ras! Gue tau! Makanya gue pengen bunuh diri aja biar bisa mati bareng Tono! Gue nggak pantes hidup! Gue yang udah bunuh temen gue sendiri! Gue!”, jawabnya lirih.
Rasti: “Tono kayak gini karena lo! Tono rela sampai kayak gini karena lo! Tono rela buru-buru hanya demi satu kabar yang menurut gue nggak berharga! Dia lakuin semuanya demi lo! Harus lo ancurin semua harapan-harapannya? Masa depannya? Harus lo bikin Tono nggak tenang untuk kedua kalinya? Harus?! Apa lo masih punya niat untuk mati? Sementara Tono mau, lo jadi orang bener. Lo masih mau ngancurin Tono untuk yang kedua kalinya?! Masih? Lo tau? Tono hari ini baru nembak gue. Baru hari ini. Lo tau gimana sakitnya jadi gue? Ada orang di dunia ini yang jadiannya baru beberapa jam tapi pacarnya langsung mati konyol kayak gini?! Ada?! Dunia ini nggak adil! Kenapa Tono harus meninggal di saat dia mau berubah? Kenapa dia harus meninggal di saat gue sayang banget sama dia? Di saat baru sebentar gue ngerasain cinta yang kayak gini? Dan di saat Tono baru pertama kali masuk ke kampus? Kenapa? Kenapa?! Kayaknya baru tadi gue liat senyumnya. Baru tadi dia megang tangan gue dengan erat. Dan baru tadi gue dengerin dia bisikin “be my lady” di telinga gue. Ada yang bisa jawab pertanyaan-pertanyaan gue?! Ada?! Kenapa Tuhan ngambil Tono dengan cara seperti ini? Gue rasa bener-bener nggak adil untuk orang sebaik Tono! Lo bisa jawab pertanyaan gue?! Bisa?!
Reno: “.....”
Rasti: “Kenapa lo hanya bisa diam? Nggak ada kata-kata yang keluar dari mulut lo yang bisa jawab pertanyaan gue? Sama seperti lo hakimin Tono?!”
                Reno berjalan mendekati jasad Tono dan memeluknya. Reno menangis histeris. Reno tidak sadar dengan apa yang telah ia perbuat. Ia seakan-akan dibutakan dengan semua hal yang dianggapnya sebagai “kesenangan”, sampai matanya tidak mampu membedakan hal apa yang mungkin dilakukan oleh seorang sahabat, dan hal apa yang tidak mungkin dilakukan oleh seorang sahabat. Kali ini dia mengerti.
Reno: “Tono, Tono sahabat gue. Makasih buat pengorbanan lo. Makasih karena lo begitu baik. Makasih buat semua hari-hari yang udah kita lewatin bareng. Gue seneng bisa kenal sama lo. Maaf buat hal yang udah gue lakuin sampe lo kayak gini. Gue tau maaf aja nggak cukup buat ngungkapin betapa besarnya rasa bersalah gue sama lo! Gue ngerti. Gue akan bilang ini semua ke nyokap lo! Dan gue rela terima konsekuensi apa aja! Gue janji, Ton! Setelah keluar dari penjara, gue akan belajar! Gue akan jadi orang baik seperti yang lo minta! Gue bakal tinggalin semuanya! Nggak ada yang tersisa! Gue akan tinggalin masa kelam gue! Makasih, Ton! Makasih karena lo udah ngajarin gue banyak hal. Lo adalah temen terbaik gue. Kalo bukan karena lo, mungkin gue nggak akan kembali ke jalan yang benar. Makasih buat rahasia yang udah lo simpen erat-erat. Makasih buat perngorbanan lo! Gue akan jadi orang sukses! Maafin gue, Ton. Selamat jalan!”
                Tak lama kemudian, Reno pun bergegas keluar dari ruang operasi dan menelepon orang tua Tono. Mendapat kabar tentang hal ini, orang tua Tono pun sangat shock. Mereka tidak percaya anak mereka satu-satunya telah tiada. Mereka sangat sedih dan berduka. Keesokan harinya, orang tua Tono pun tiba di rumah sakit. Mereka berdua histeris karena ketidakpercayaannya bahwa anak mereka telah meninggal. Mereka menghampiri jasad Tono yang sudah begitu kaku, tak berdaya, tak bernafas. Ibunya menangis tersengal-sengal dan akhirnya ibunya pun rubuh di samping jasad anaknya. Ayahnya hanya bisa menenangkan dan menyadarkan ibunya, seakan-akan menyembunyikan kesedihan yang amat mendalam yang tergores dalam hati. Melihat hal ini, Rasti dan Reno hanya bisa menunduk, menangis, dan terdiam.
                Setelah sadar, Ibu Tono terdiam sejenak. Pikirannya kosong, terlihat dari pandangan matanya yang sendu. Dia terdiam cukup lama, dan akhirnya dia teringat akan suatu pertanyaan. Pertanyaan yang menjadi tanda tanya besar dalam hatinya yang sangat ingin ia tanyakan kepada siapa saja yang dapat menjelaskan penyebab kematian anaknya, Tono. Kemudian dia menatap ke arah Rasti, lalu pandangannya dialihkan kepada Reno.
Ibu Tono: “Kemarin kamu ya yang ngasih kabar ke Ibu kalau Tono udah meninggal?”, tanyanya kepada Reno.
Reno: “I..I..Iya, Bu.”, jawab Reno gugup.
Ibu Tono: “Lantas, kenapa Tono bisa menjadi seperti ini? Kenapa dia meninggal? Apa kamu tau, Nak? Kenapa Tono, anak Ibu bisa meninggal? Coba kamu ceritakan kronologisnya?”, sambil kembali berurai air mata di pipinya.
Ayah Tono: “Udah yo, Bu. Ibu yang tenang.”, sambil mengelus-elus pundak ibunya.
Ibu Tono: “Iyo, Pak. Ayo, Nak. Ceritakan ke Ibu bagaimana sampai Tono mejadi seperti ini?”, desaknya seakan-akan tidak sabar.
Reno: “Ja.. Jadi, begini, Bu.”
                Tiba-tiba, omongan Reno disela oleh Rasti. Dia seakan-akan memberi isyarat kepada Reno agar bukan dia yang menjelaskan semua ini. Reno pun mengerti dan pergi meninggalkan ruangan agar Ibu Tono tidak menjadi semakin histeris jika mengetahui faktanya.
Ibu Tono: “Kenapa dia pergi, Nak?”, tanyanya kepada Rasti dengan wajah yang penuh rasa heran.
Rasti: “Tono adalah anak yang baik. Dia juga anak yang rajin.”, sambil mendekati Ibu Tono dan duduk di sebelahnya.
                Ayah dan Ibu Tono hanya bisa diam terpaku mendengarkan penjelasan Rasti yang seakan-akan memberikan keterangan yang lebih halus untuk menjelaskan kematian Tono yang  sebenarnya.
Rasti: “Dia adalah seorang yang sangat pandai matematika. Dia menjadi kebanggan semua dosen. Saat itu, dia menjadi mahasiswa yang paling berprestasi dan menjadi buah bibir di kampus. Tetapi, sayangnya Tono terjerumus ke dalm pergaulan yang salah.”, jelasnya.
Ibu Tono: “Apa maksudnya, Nak? Tono menadi brutal? Baru-baru ini Ibu sempat meneleponnya. Dan dia bilang kalau dia baik-baik saja. Dia ingin mengumpulkan tugas ke dosen.”
Ayah Tono: “Udah, Bu. Biarkan anak ini menjelaskan semuanya dulu. Agar kita mengerti.”, sela ayahnya dengan penuh ketajaman.
Rasti: “Dia punya seorang sahabat. Sejak pertama kali kuliah, Tono memang rajin. Tapi lama-kalamaan, Tono menjadi suka bolos, dan kerjanya hanya bermain game di warnet. Tempat favoritnya adalah warnet samping kampus. Seringkali dia sudah diingatkan, tapi dia tampaknya lebih peduli dengan sahabatnya. Akhirnya, dia terikut dan jatuh, namun sempat dia kembali masuk kampus. Baru-baru ini. Ya, baru-baru ini.”, sambil menunduk.
Ayah Tono: “Ayo, ceritakan lagi, Nak.”
Rasti: “Kata Tono, dia mau berubah. Kata Tono, dia tidak ingin melihat temannya semakin rusak dan jatuh. Kata Tono, dia ingin kembali seperti semula, di mana banyak prestasi yang bisa ia capai. Sayang sekali, sebelum hal itu terjadi, Tono telah pergi. Semua berawal dari kesalahpahaman.”, ujar Rasti mencoba menjelaskan.
Ibu Tono: “Kesalahpahaman? Kesalahpahaman apa, Nak?”, dengan raut wajah penuh tanda tanya.
Rasti: “Tono dibunuh oleh sahabatnya sendiri. Karena kesalahpahaman.”, jelas Rasti.
                Rasti mencoba menceritakan secara detail kronologis kematian Tono kepada kedua orang tua Tono. Mau tidak mau, dia harus menceritakannya. Tidak mungkin dia menyembunyikan kejadian seperti ini. Reno, sahabat Tono pasti akan merasakan peyesalan yang amat mendalam jika hal ini tidak diceritakan kepada kedua orang tua Tono. Setelah selesai menjelaskan, tiba-tiba ayah Tono bisa menangkap siapa pelaku yang menjadi tersangka atas pembunuhan anaknya, Tono. Lalu, ia bergegas menghampiri Reno di luar ruangan dan ia menghajar Reno dengan penuh kegeraman. Semua ayah pasti akan melakukan hal yang sama, bahkan lebih dari itu jika mengetahui ternyata anaknya meninggal dengan sebab yag seakan-akan tidak masuk akal seperti itu. Reno hanya bisa berpasrah dan meminta maaf. Reno habis babak belur. Jika tidak ada pihak yang melerai, mungkin ayah Tono akan memukul Reno sampai meninggal, karena kemarahannya yang seakan berkobar-kobar untuk menerima kenyataan bahwa anaknya dibunuh dengan alasan yang sangat tidak masuk akal. Reno berkata bahwa ia siap menerima ganjaran apapun dari pihak keluarga Tono. Ibu Tono yang mengetahui kenyataan hanya bisa menangis dan terus menangis mengenang semua masa lalu Tono. Ibunya mengenang saat-saat di mana dia mendengar suara Tono. Dan dia tidak menyangka bahwa itu adalah kali terakhir dia mendengar suara anaknya.
                Akhirnya, dengan langkah yang berat namun pasti, kembali Ibu Tono menghampiri jasad Tono. Tak kuasa menaha tangis, akhirnya ia pun menangis. Kembali ia histeris membayangkan cerita tragedi kematian anaknya. Suasana haru meliputi rumah sakit saat itu. Lalu, Ibunya datang memeluk jasad anaknya yang sudah terbujur kaku.
Ibu Tono: “Tono! Tono anak Ibu. Mengapa nasibmu malang sekali, Nak? Kenapa kamu bohong sama Ibu? Kenapa, Nak? Kenapa semua jadi seperti ini? Apa salah Ibu, ya Allah? Kenapa Engkau mengambil anakku satu-satunya? Kenapa? Tono adalah anak kami satu-satunya. Dia harapan kami di masa tua. Tapi, kenapa, ya Allah? Kenapa semuanya harus kau ambil secepat ini? Harapan-harapanku untuk menatap masa depan bersama Tono pupus. Keindahan yang setiap malan aku dambakan menghilang sia-sia. Lalu, kenapa harus dengan cara seperti ini anakku pergi? Apakah aku harus melupakan semua janji-janji yang terucap dari mulutnya di percakapan telepon itu? Aku sangat sayang kepada Tono, ya Allah. Aku sangat sayang.”, serunya sambil menangis tersedu-sedu.
Ayah Tono: “Udah, Bu. Udah. Kita harus ikhlasin Tono. Kasihan dia. Nanti dia tidak tenang kalau lihat Ibu seperti ini.”, katanya sambil berusaha menghibur.
Ibu Tono: “Aku masih tidak percaya. Aku masih tidak percaya Tono, anakku udah pergi, Mas. Kalau boleh aku mau dia hidup kembali. Sudah lama aku tidak memeluknya. Semenjak dia pergi untuk kulaih di Jakarta, aku belum sempat melepas rindu dengannya. Tapi sekarang apa? Apa harus dengan cara seperti ini aku dipertemukan dengan anakku yang sudah lama tidak aku jumpai, Mas? Kenapa Allah tidak adil dengan keluarga kita? Kenapa, Mas? Kenapa?!”, katanya sambil kembali histeris.
Ayah Tono: “Istighfar, Bu. Istighfar. Inget, Bu. Apa yang diberikan sama Allah akan kembali juga ke Allah. Tono hanya dititipkan ke kita. Adalah hak Allah untuk mengambil anak kita kembali. Allah terlalu sayang dengan Tono, Bu. Makanya Dia mau Tono cepat-cepat kembali ke sisi-Nya.”
Ibu Tono: “Iyo, Mas. Ibu ngerti! Tapi kenapa harus dengan cara yang seperti ini, Mas? Kenapa?!”
Ayah Tono: “Allah bisa mengambil siapa saja dengan cara yang berbeda-beda. Alah punya rencana, Bu. Meninggalnya Tono pasti karena tugasnya di dunia ini sudah selesai. Bapak udah bilang, Bu. Allah pasti punya rencana. Dan mungki rencananya itu tidak dapat kita lihat sekarang. Kit harus tetap bersabar. Ikhlasin semuanya, Bu. Kita harus ikhlas.”, jawabnya tenang.
Ibu Tono: “.......”
Ayah Tono: “Percaya sama Bapak, Bu. Semua kejadian pasti ada hikmahnya. Mungkin kita nda bisa lihat sekarang. Tapi nanti, kematian ini pasti memberikan dampak kepada orang lain, Bu.”
Ibu Tono: “Lalu siapa, Mas? Siapa yang mendapatkan hikmah dari kematian anak kita?”
Ayah Tono: “Hanya Allah yang tahu, Bu. Bapak nda bisa jawab itu, karena itu rahasia Allah. Kita berasal dan diciptakan oleh Allah. Oleh kemurahan Allah sehingga kita bisa dilahirkan ke dunia ini. Untuk mencicipi pahit manis kehidupan. Adalah hak Allah kalau Dia ingin memanggil kembali ciptaan-Nya kembali kepada-Nya. Kita harus percaya, Bu. Tono udah ada bersama dengan Allah di Surga sana. Dia lagi tersenyum ke arah kita. Dan dia tidak mau melihat Ibu terus menangis. Kita harus ikhlas yo, Bu. Ibu jangan nangis lagi. Allah tidak pernah merencanakan kejahatan di dalam hidup kita, umat manusia.”
Akhirnya, untuk menerima balasannya, Reno dilaporkan ke kantor polisi bersama dengan teman-temannya. Reno menerima hukuman setimpal dengan perbuatannya. Sementara Rasti? Dia hanya bisa bersedih dengan kepergian Tono yang meninggalkan kisah kasih yang begitu klasik, namun sarat akan makna. Sekali lagi, kejadian ini membawa berkah bagi orang-orang sekeliling Tono. Setelah bertahun-tahun dipenjara, akhirnya Reno dan teman-temannya pun bebas. Dia mulai berkuliah lagi bersama teman-temannya. Keseriusannya dalam kuliah dibuktikan dengan nilai IPK-nya yang nyaris 4. Dia menjadi mahasiswa yang paling berprestasi di Universitas bergengsi di Indonesia. Akhirnya, Reno pun lulus dan kemudian melanjutkan kuliah ke jenjang yang lebih tinggi, sampai di tingkatan Doktor, dalam kurun waktu kurang dari 6 tahun. Betapa luar biasanya pengaruh Tono yang memberikan perubahan di dalam diri Reno. Tak lama kemudian, terdengar kabar bahwa Reno menjadi salah satu konglomerat terpopuler yang ada di Indonesia. Sungguh mencengangkan. Pengorbanan yang berharga akan diimbangi dengan hasil yang berkualitas. Dan kematian Tono akhirnya tidak sia-sia. Ia mengubah paradigma sahabatnya sendiri, yang menjadi salah satu harapannya sewaktu hidup.
                Sempat suatu saat Rasti bertemu dengan Reno. Rasti pun sukses menjadi penulis novel. Dia menuangkan pengalamannya bersama Tono dalam sebuah cerita yang begitu menyentuh hati, dan sejak saat itu, dia sukses menjadi penulis blog dan novel terpopuler di Indonesia. Setipa kali menerbitkan novel, angka penjualan yang ditargetkan selalu melebihi batas. Mereka berdua kembali mengenang masa lalu.
Reno: “Ras, lo hebat ya! Udah terkenal sekarang. Gue bangga punya temen kayak lo. Semua ini berkat Tono. Tuhan ngirim dia ke dunia untuk menciptakan orang-orang seperti kita. Untuk ngubah gue, pastinya. Thank’s, Tono.
Rasti: “Lo juga hebat, Ren. Siapa yang nyangka lo bisa kayak sekarang. Tono pasti seneng banget di sana. Dia seneng karena orang-orang terdekatnya bisa jadi orang sukses, terutama lo, Ren. Dia pasti bangga dengan perubahan lo sekarang. Seandainya dia masih hidup. Dia pasti bisa baca buku karangan gue tentang dia, dan tentang lo. Dia pasti seneng. Tuhan pasti punya rencana yang indah buat kita semua. Buat hidup gue, hidup lo, bahkan hidup Tono. Dia nggak sia-sia. Tono luar biasa! Dia bisa memotivasi hidup orang lain dengan begitu megahnya. Gue harap Tono sekarang lagi lihat kita di surga, sambil senyum. Sama seperti terakhir kali dia senyum ke gue di kampus dulu. Walaupun itu yang terakhir, tapi itu senyumannya yang paling indah.”
Reno: “Iya, lo bener, Ras. Gue seneng Tuhan bisa pertemukan gue dengan anak urban macem Tono. Dia tuh awal-awalnya katro. Jadi gue berpikir untuk ngajakin dia jadi bandel, sama kayak gue. Biar gue ada temennya. Lo tau sendiri, anak urban kan paling gampang dipengaruhin. Apalagi kalo dia belom tau apa-apa. Begitulah si Tono, polos. Tapi untungnya dia nggak separah gue. Dia masih bisa sadar. Dan dia masih bisa tetep bela gue, walaupun gue udah jahat sama dia. Kehidupannya membawa banyak pengalaman buat gue, khususnya buat lo. Lo pasti yang paling banyak ngabisin waktu bareng dia di saat-saat dia belom kena pengaruh gue. Ya, kan? Lalu, kematiannya membawa berkah, buat lo, khususnya buat gue. Jempol buat Tono.”
Rasti: “Iya, Ren. Bener. Tono adalah orang yang paling gue sayang. Tapi kehidupan gue harus tetep berlanjut. Bayangan Tono tetep ada di hati gue. Masalahnya, gue belum nemuin siapa orang yang pantes gantiin Tono di hati gue. Belom ada.”
Reno: “Tuhan pasti nunjukin orangnya, Ras. Lo bersabar.”
Rasti: “Selalu, Ren. Gue selalu bersabar, dan nunggu seseorang itu datang, dan bisa buat gue jatuh cinta, sama seperti saat gur jatuh cinta ke Tono, untuk pertama, dan terakhir kalinya. Apa yang udah lo dapetin ini ibarat hadiah yang Tuhan kasih ke lo lewat Tono.”
Reno: “Hadiah?”
Rasti: “Ya, hadiah. Karena lo udah mau berubah. Berubah menjadi lebih baik, sama seperti permintaan dia yang terakhir. Jadi, mungkin di surga dia minta sama Tuhan supaya lo di kasih hadiah. Hadiahnya adalah kesuksesan yang lo raih sekarang ini.”
Reno: (tertawa) “Iya, Ras. Bagi gue ini adalah hadiah. Hadiah dari seorang sahabat yang nggak akan terlupakan. Dan menurut gue, Tono juga udah ngasih lo hadiah.”
Rasti: “Ya, bagi gue, hadiah terindah dari Tono adalah senyuman dan kesempatannya untuk ketemu dan nyatain perasaannya ke gue di hari kepergiannya.”
Reno: “Ada lagi, Ras.”
Rasti: “Apa?”
Reno: “Tono udah ngasih lo inspirasi untuk nulis buku paling laris sepanjang sejarah!”
Rasti: “Ya, lo betul. Gue bangga kenal Tono!”
Reno: “Gue juga.”, sambil memandang ke langit. “Semua kejadian pasti ada hikmahnya. Makasih, Ton.”
Tono adalah seorang urban yang terbawa arus zaman, karena memiliki perasaan takut jika tidak memiliki teman. Tetapi, untungnya dia tidak terlambat untuk menyadari bahwa dirinya berada di kota orang untuk meraih kesuksesan, bukan malah menghambur-hamburkan uang orang tuanya. Walaupun dia terbawa arus, dia tetap menyadari hal itu. Dan karena itulah dia berubah. Dan acap kali, orang yang jahat tidak suka dengan hal yang baik. Sebaliknya, orang baik tidak suka dengan perbuatan jahat. Perubahannya membawa dampak ketidaksukaan sahabatnya, Reno. Reno merupakan salah satu contoh seseorang yang sering membawa orang lain, khususnya orang yang masih polos untuk melakukan hal-hal buruk bersama. Dan parahnya, banyak juga orang-orang yang tertipu dengan tipu muslihat yang ditawarkannya. Begitulah analogi kota Jakarta yang penuh dengan tipu daya. Dari kalangan rakyat kecil, sampai kasta atas sekalipun telah mengalami akibat dari perbuatan-perbuatan menipu seperti ini. Jadi tak heran, jika sasaran utama mereka yang paling mudah dijangkau adalah para urban. Mengapa paling mudah? Karena “bos-bos” yang berintelek dan punya pendidikan tinggi saja bisa mereka tipu dengan begitu mudah dan disertai dengan indahnya permainan.
Jadi, kehidupan urban sebenarnya tergantung pada keteguhan dan prinsip mereka. Bagaimana cara pandang mereka terhadap sesuatu hal. Tetapi, lepas dari itu semua, bukan berarti para urban dilarang untuk bergaul dengan anak-anak yang lain. Tetapi lebih tepatnya, mereka harus lebih selektif dalam memilih teman sepermainan. Karena teman, adalah orang yang mampu menghipnotis kita ke arah yang baik, dan juga ke arah yang jahat. Jika ada yang mengatakan bahwa:
“Teman adalah orang yang tidak menangis saat kita tertawa, dan orang yang tidak tertawa saat kita menangis.”
Maka perlu disimak, “tertawa” dan “menangis” seperti apa yang kita lakukan hari-hari ini. Apakah untuk kejahatan? Ataukah untuk kebaikan?
Akhirnya, kisah kehidupan seorang urban yang hanya sementara memberikan begitu banyak dampak bagi kehidupan sekitarnya. Kematiannya yang tragis dan sangat konyol membawa sejuta berkat. Kematiannya menghantar seseorang yang brutal, seakan-akan tidak mempunyai masa depan menjadi sukses, dan seorang wanita pujaan hatinya mendapat begitu banyak inspirasi, lalu kemudian dapat menceritakan kisah hidupnya sehingga menjadi inspirasi bagi setiap orang. Itulah kado termanis yang dapat diberikan seorang urban yang tidak tahu apa-apa, begitu polos, dan yang hanya datang mengadu nasib di tengah-tengah “kerasnya”  kota Gula. Penuh dengan lika-liku, namun sarat akan makna. Kemalangan tidak selalu membawa sesuatu yang berdampak negatif. Setiap kejadian pasti ada hikmahnya. Dan di antara semua kejadian, hikmah yang dapat diambil dapat dijadikan pembelajaran dan bekal hidup. Hikmah datang dengan sendirinya. Bukan saja dari kejadian yang besar, namun dapat juga dari hal-hal yang paling kecil sekalipun, yang mungkin terlewat dan tidak kita sadari secara pasti. Kisah hidupnya yang diwarnai kisah persahabatan, pertobatan, dan percintaan, sudah membuat hidup Tono manis. Semanis kado yang dia berikan untuk orang-orang terdekatnya. Mungkin itu doanya yang turun dari Surga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar